Jumat, 27 Mei 2011

Oleh-oleh dari Solo


Perjalanan seorang alumni 629

Hari Kamis yang cerah, membuatku ingin sekali pergi ke sana, Solo. Sudah lama aku ingin bertemu dengan Bibiku, satu-satunya keluargaku yang tinggal di Jawa Tengah. Semua keluargaku tinggal di daerah Bogor-Jakarta-Banten. Maka  kuputuskan hari ini bersama temanku untuk nekat pergi kesana. Walaupun belum tahu dimana jalannya. Walaupun belum ada jawaban setelah kutelepon berkali-kali.

Sebenarnya aku agak ragu. Karena memang banyak pekerjaan. Takutnya nanti terbengkalai. Selain itu, sore ada kuliah. Berarti aku bolos, donk. Hemm…. Sebentar, jika kupikir, mencari ilmu adalah wajib, lha hukum silaturahmi? Mana yang lebih utama?


Jangan tanyakan itu kepadaku, aku pun bingung. Hanya saja aku ingin bertemu dengan Bibiku karena tidak ingin memutuskan ikatan keluargaku dengan beliau. Selain itu, hanya hari itu kupikir aku punya waktu dan budget yang cukup. Oke, bismillahirrahmanirrahim, nawaitu lillahi ta’ala, masalah nanti absen kuliah hingga pencekalan bagi yang ghaib 5 kali tidak kupermasalahkan. Ini sudah menjadi prioritas utamaku bulan ini.

Di tengah perjalanan, sekitar Sumoroto, temanku yang bertindak sebagai pembonceng dengan motornya mengajakku sarapan dulu. Sampailah di sebuah warung. Di sini kudapatkan oleh-oleh pertama.

Kuperhatikan orang-orang yang makan disana. Ada seorang bapak berpakaian lusuh, wajahnya awut-awutan. Mungkin umurnya 40 tahun. Ada juga pemuda 30 tahunan kukira, bertampang seperti preman, dengan telinga kiri ditindik dan memakai topi belel. Mereka berdua saling bercanda, kongkow dengan membicarakan permasalahan sehari-hari.

Waktu sudah menunjukkan jam setengah sepuluh pagi. Kasihan sekali aku melihat mereka, terutama Bapak itu. Hari hampir siang tapi tidak ada pekerjaan berarti yang bisa dikerjakan. Aku pikir, seandainya Bapak itu mempunyai ilmu, atau agama yang kuat, pasti keadaannya tidak akan seperti itu. Kupikir kembali. Seandainya aku tidak mempunyai ilmu dan agama, bisa jadi nanti keadaanku 20 tahun lagi seperti bapak itu. Masuk akal, kan?

Memang pandangan ini subjektif, masih kasar. Apalagi men-judge seseorang dari penampilannya saja.  Aku juga belum tahu apa pekerjaan sebenarnya orang itu. Bahkan mungkin saja bapak itu termasuk kelompok orang tua pekerja keras yang sukses mengantar anak-anaknya sekolah tinggi. Hanya saja, secara general tidak ada orang yang beragama kuat, yang tahu Islam mencintai kebersihan dan kerapihan, walaupun miskin, akan berpenampilan sangat lusuh dan tidak teratur. Secara umum, tidak ada orang yang pintar yang mau duduk membicarakan hal-hal yang tidak perlu di waktu seharusnya orang berkerja.  Inilah sudut pandang yang kuambil, tanpa maksud merendahkan Bapak itu, apalagi sekadar ghibah.

Kembali ke perjalanan, ban belakang sempat bocor. Untungnya tidak jauh dari lokasi tambal ban. Ternyata tambalan ban terdahulu lepas. Mungkin karena kepanasan dan tekanan ban yang tinggi selama perjalanan. Setelah itu kami lanjutkan perjalanan.

Bibiku aslinya dari Bogor, menikah dengan orang Solo, kemudian tinggal di Sumedang, dan akhirnya hijrah ke kota suaminya. Mempunyai lima anak, 3 putra, 2 putri, yang terbesar seumuran denganku tapi telah meninggal ketika baru beberapa tahun menetap di Solo.

Kami melanjutkan perjalanan, agak sulit juga menemukan letak rumahnya. Yang pasti, rumahnya tidak besar, sederhana, karena yang kutahu, pekerjaannya hanyalah membukan warung makan di daerah terminal Kartosuro. Suaminya pun hanyalah seorang satpam pabrik di dekat rumahnya.

Karena perjalanan ini pula aku menjadi mengerti bahwa Solo, Sukoharjo, Surakarta, dan Kartasuro itu adalah nama kabupaten yang berbeda. Awalnya aku bingung membedakan nama-nama kota itu. Kupikir semuanya satu daerah. Ketika di Sukoharjo, kami salah jalan. Malah masuk ke tengah kota. Mestinya mengikuti jalur bus. Akhirnya kami baru sampai di Kartasuro jam 2 siang, yang semestinya bisa sampai jam 12. Untung suami bibiku sudah menunggu bersama anak terkecilnya di depan terminal sehingga langsung mengantar kami ke rumahnya.

Benar dugaanku, rumahnya terletak di dalam perumahan, tapi menyempil. Bersama rumah-rumah keluarga suami bibiku yang mengumpul di satu daerah. Rumah yang sangat sederhana. Adalah hal yang sulit untuk membuat rumah yang besar mengingat harga tanah di daerah itu telah melonjak tajam karena banyaknya pabrik-pabrik dan pusat ekonomi yang dibangun.

Memasuki rumah yang temboknya di cat hijau, aku langsung bertemu dengan bibiku. Tidak lupa 2 anaknya yang sedang menonton tv. Satu perempuan baru selesai diwisuda SMA siang itu juga. satu lagi laki-laki masih kelas 2 SMK jurusan Komputer. Aku penasaran mana anak ketiganya yang masih kelas lima SD, perempuan, cantik, pintar dan lucu, wajahnya persis dengan kakak perempuannya dulu ketika kecil. Ah… akhirnya ketemu juga. Hanya saja pakaiannya lebih terbuka dibanding ketika di Bogor tahun lalu. Yang kuingat, dia selalu memakai kerudung dimanapun berada, bahkan hingga tidur sekalipun. Mungkin dia tidak memakai jilbab karena memang sedang dirumahnya sendiri. Begitu juga dengan kakak perempuannya.

Kudapatkan oleh-oleh kedua. Mereka bercerita tentang kerasnya lingkungan di sekitar rumah mereka. Dekat dengan terminal yang terkenal rawan kejahatannya. Tidak ada aktivitas berarti ketika menjelang malam. Bus-bus pun hanya berani menurunkan penumpangnya di luar terminal, dekat dengan pos Polisi. Banyak kasus penculikan anak. Kejahatan pemuda. Mabuk-mabukan bukanlah hal yang aneh di komplek perumahan bibiku ini.

Yang membuatku takjub adalah bagaimana anak-anak mereka bisa tumbuh normal tanpa tersentuh pengaruh negatif lingkungannya. Anak perempuannya bisa lulus SMA dengan normal. Begitupun anak laki-lakinya yang masih SMK, memiliki kepribadian yang sopan dan santun. Tinggal anak terkecilnya yang masih TK, bibiku sedikit risau bagaimana pergaulannya ketika nanti besar. Hanya saja, secara garis besar jarang kutemui keluarga sederhana yang tinggal di kawasan yang rawan kejahatan bisa hidup normal dan baik, teguh memegang nilai-nilai agama dan norma yang ada. Aku jadi berpikir, bagaimana mereka bisa seperti itu. Murid-muridku di pondok banyak yang bermasalah. Mereka nakal karena memang bawaan dari rumahnya. Ada yang memang anak terminal, telah mengenal miras dan lainnya. Walaupun masih SD.

Setelah kurenungkan. Ini mungkin karena peran bibiku yang sangat kuat dalam memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Walaupun sibuk berkerja membuka warung makan di terminal. Tapi tidak pernah melepaskan perhatian terhadap anak-anaknya. Walaupun hidup serba pas-pasan, tapi berani mendatangkan guru privat untuk anak perempuannya. Hingga prestasi nilai bahasa Inggris tertinggi pun diraihnya. Selain itu, anak laki-lakinya dimasukkan ke jurusan terbaik walaupun SPP-nya paling mahal. Dan mereka tidak keberatan terhadap semua itu, selama itu yang terbaik bagi anak-anak mereka. Sepertinya jarang sekali anak SMK sekarang yang tidak identik dengan nakal. Rasanya kita hanya akan menemukan anak baik kalau basic-nya dari sekolah Islam, bukan sekolah umum.

Bibi saya berkelakar, salah satu sifat jelek mereka adalah tidak mau bergaul ke luar rumah, selalu diam di rumah saja. Tapi itu bagus menurutku. Di tengah kondisi lingkungan yang jelek, lebih baik bagi mereka tinggal di rumah saja daripada terpengaruh lingkungannya. Lagipula, kupikir mereka tinggal di rumah karena merasa mendapat perhatian yang cukup dari orang tuanya, sesibuk apapun mereka. berbeda dengan kasus anak-anak nakal kutemui. Mereka menjadi liar karena tidak terlalu diurus oleh orang tua mereka. dengan dalih sibuk. Sehingga membebaskan aktivitas mereka dan merasa puas jika telah memberikan uang jajan yang cukup.\

Terakhir mereka berharap tetap tinggal di Bogor. Anak perempuannya akan studi disana. Dan mereka berencana membangun rumah di sana juga. semoga mereka mendapatkan yang terbaik.

Apa yang bisa kumanfaatkan dari 2 Oleh-oleh ini?

Jika kukaitkan dengan duniaku yang sedang kuliah. Betapa pendidikan sangat penting. Tapi kadang kita terjebak dengan rutinitas formal belaka sehingga kehilangan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Kita menjadi orang yang hanya mengejar selembar ijazah dan pengakuan gelar yang menempel di belakang nama kita. Karena arahannya seperti itu. Kebanyakan dari kita tidak merasakan manfaatnya kuliah atau belajar. Ini juga yang menjadikan teman-temanku malas kuliah. Begitu pun diriku. Malas sekali.

Dengan berkunjung ke keluarga ini. Menjadi dorongan bagiku untuk terus belajar. Mereka sadar bahwa pendidikan itu penting. Bagaimana mereka yang mengetahui pentingnya pendidikan dan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Maka anak-anaknya pun bisa menjadi manusia seutuhnya. 

Dengan dua oleh-oleh tadi. Kini aku bisa kuliah tanpa rasa terpaksa, malas, dan formalitas nilai belaka.  Kita belajar kadang hanya untuk  ujian dan nilai. Ketika selesai ujian dan mendapat nilai. Maka ilmu yang kita dapatkan akan hilang dengan sendirinya. Tidak ada manfaat banyak yang bisa dirasakan. Bahkan kita cenderung meninggalkan kuliah karena ingin belajar sesuatu yang kita rasa lebih berguna. Ini karena memang kita tidak mengerti untuk apa kita kuliah.

Masih ada hal lainnya yang membuat aku menjadi semangat kembali untuk belajar karena ilmu, bukan nilai, dan ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian. Apalagi ketika bertemu hal yang tak terduga sewaktu menjadi pembimbing  lomba debat di suatu kota. Apa itu? Mungkin lain kali kubahas. : ) 

1 komentar:

  1. ..a lot of usual thing happened around us but only one in a million who can takes a delightful value from these all when another couldn't
    *** here..with all of due I'll present all my thumbs ...GREAT!!!

    BalasHapus

Komentar Anda