Rabu, 20 Juli 2011

nilai PENGABDIAN

    Seorang wali santri laki-laki bertanya kepada saya, “Masih berapa tahun lagi masa pengab-diannya? Sudah selesai?”
Merenung sejenak. Saya tidak mengerti pertanyaan ini. Entah karena saya bodoh atau apapun itu. PENGABDIAN. Sepertinya itu tidak ada dalam benak saya selama ini. Apalagi dibatasi dengan waktu satu atau dua tahun.




Mungkin yang dimaksud bapak ini adalah tradisi pondok modern yang mewajibkan santrinya untuk menjalani masa pengabdian selama satu atau beberapa tahun. Hanya saja, sejak saya duduk di kelas enam, hingga detik-detik kelulusan, diwisuda, dan diumumkan siapa saja yang terpilih mengajar di sini, tidak terbetik pun dalam hati saya bahwa ini merupakan kewajiban yang dibebankan pondok sehingga saya tidak boleh keluar dari pondok ini dengan durasi minimal satu tahun.
Yang saya tahu, guru-guru saya hanya menekankan istilah ‘mengajar’, berjuang mendidik anak-anak agar menjadi pewaris nabi di akhir zaman. Dijauhkan dari kami istilah ‘mengabdi’ karena seakan-akan kami bekerja untuk pondok. Padahal kita bekerja untuk Allah, menolong agama-Nya. Atas hal itu pula kami tidak perlu merisaukan masa depan pondok ini, karena memang Allah yang akan menjaganya. Tidak pula kami risau dengan istilah ‘pondok harus dibela’, karena memang itu hanyalah nama belaka. Jika pun diartikan sebuah benda yang kongkrit, maka tidak lebih dari seonggok bangunan belaka. Tidak perlu kami risaukan berapa jumlah muridnya. Semuanya kami serahkan kepada Allah, yang penting kami tetap berjuang. Sebagaimana pondok ini awal-awal dibangun, tanpa memikirkan gedung, jumlah santri, kualitas inputnya, dananya, semuanya dijalani dengan rasa yakin akan pertolongan Allah yang akan dating kepada orang yang mau menegakkan agama-Nya.
Yang saya yakini, mengapa saya ngotot memilih pondok daripada di luar adalah karena memang disinilah ladang yang jelas per-juangannya. Tempat yang paling baik untuk mengasah mental yang bobrok menjadi bersinar bak permata yang baru saja digosok. Dan karena hal itu pula, saya tahu resiko-resiko yang akan saya hadapi. Akan banyak tantangan, cobaan, rintangan, masalah dan segala polemik kehidupan yang jika saya menyerah, maka saya mati. Mati secara kalbu. Maka jika hati saya mati di dunia ini, tidak ada yang tersisa untuk diperjuangkan lagi. Semuanya berubah menjadi hampa,  seperti debu berterbangan yang tak bernilai.
Maka saya katakan kepada bapak itu, “Oh… saya memilih disini karena memang  ingin saja, tidak ada batasan masa pengabdian. Walaupun memang kuliah saya tinggal beberapa tahun lagi.” Dan mungkin saja setelah itu saya tidak berada di pondok lagi. Tapi itu bukan berarti karena masa pengabdian saya telah habis. Tidak.
Lalu, jika kemudian saya ditanya, “Dapat apa selama tinggal di pondok?” hm… saya belum keluar, tapi jika berdasar pandangan saya selama ini, mungkin saya akan menjawab, “Banyak, di sini saya mendapatkan bagaimana makna keikhlasan yang sebenarnya, di sini saya belajar untuk berkerja dan berjuang dengan sepenuh hati, bukan setengah-setengah, apalagi sekedarnya saja, karena itu bukanlah makna ikhlas sebagaimana orang awam pahami. Saya tidak hanya mendengar dan membaca saja, tapi langsung melihat contoh bagaimana keikhlasan seharusnya diamalkan.” Dan mungkin kutambahkan lagi, “Itulah yang saya dapat di tempat yang tidak ada duanya ini, sesuatu yang tidak akan bisa dibeli oleh apapun, dan sangat jarang kita bisa menemukannya.” (DK)

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda