Minggu, 11 Oktober 2009

LASKAR 13

(By: drie@indonesiaindonesia.com)

It's about us, 13 new teachers of ar-Risalah graduate 2009 who want to try studying in one of best Indonesia Islamic Institute, ISID Gontor. And we don't forget the first experience entering into this Institute.


Angka 13 bagi sebagian kalangan adalah angka sial, tidak bagi penulis yang selalu ditemani dengan angka cantik ini, sepertinya ini angka yang unik bagi penulis. Lagipula sugesti seseorang terhadap sesuatu yang membuatmya menjadi kenyataan. Jika dia meyakini itu sial, maka seakan-akan kesialan itu menjadi nyata.


Dan kami, 13 orang pengajar baru di P.M. ar-Risalah mencoba menapaki kehidupan baru sebagai seorang mahasiswa di salah satu kampus terbaik yang dimiliki umat Islam di Indonesia, Institut studi Islam Darussalam Gontor, Ponorogo. Bukan main-main, hanya 12 orang dari total  23 alumni  putra 2009 yang mengajar di ar-Risalah yang mau masuk ISID, mereka berpendapat (dan kebanyakan orang-orang bilang), "Masuk ISID itu mudah , biayanya murah, tapi susah keluarnya, sudah untung bisa lulus SI 5 (lima) tahun."  Berbeda dengan kebanyakan guru lainnya yang pindah dari ISID ke universitas lain yang lebih mudah, salah satu Pengajar alumni 2008, Yaitu al-Ustadz Domis dari Lampung mengambil manuver berbeda dengan masuk ISID bersama kami pada tahun ini setelah sebelumnya kuliah di Universitas Muhammadiyah Ponorogo,  suatu catatan sejarah tersendiri bagi kegiatan perkuliahan di ar-Risalah.

Bermula dari Ujian masuk yang diiadakan pada hari Senin, 5 Oktober 2009 di Kampus ISID Siman. Yang tidak kami lupakan adalah karena kami berangkat bersama-sama bukan dengan mobil Western Wagon layaknya untuk pergi kuliah, tetapi menggunakan mobil Pick Up Mitsubishi L300 bak terbuka milik Pak Bo! Aiih... rasanya kepala ini ingin sekali dipendamkan kedalam tanah, kami pun rebutan duduk di kursi depan, bagaimana tidak! Dengan pakaian kemeja rapi disemprot parfum terwangi, plus rambut yang disisir dengan minyak rambut terbaik, akan hilang semua menjadi berantakan dalam beberapa menit dihapus angin kencang dengan debu-debu berterbangan selama perjalanan menuju kampus. Tapi kami sadar bahwa niat kami adalah pergi untuk mencari ilmu ketempat yang telah diridhoi Bapak Pimpinan, bukan pergi untuk mencari popularitas. Lagipula mental kami telah dilatih bertahun-tahun di ar-Risalah agar tidak malu melakukan apapun selama itu halal, mencangkul, mengaduk semen, menguras got dan selokan, mengangkat bangku, ngecor dan lainnya.

Lalu memangnya kemana mobil wakaf alumni Reformasi yang biasa mengantar para santri ke Ponorogo itu? Rupanya kendaraan pemberian alumni 1999 itu sedang direnovasi, sehingga tidak bisa dipakai. Di kampus Siman kami beserta semua orang non-Gontor yang ingin menjadi mahasiswa Institut tersebut diuji dari sejak jam 2 siang hingga jam 9 malam, dilulai dari ujian Syafahi (Lisan) tentang bahas arab, al-Qur'an dan praktek Ibadah, kemudian dilanjutkan malamnya dengan Ujian tulis dengan tiga materi yaitu Bahasa Arab, Bahasa Inggis dan Dirasah Islamiyah (Pengetahuan Umum Keislaman). Dan alhamdulillah hari itu kami tidak mengalami kesulitan berarti selama mengikuti ujian, karena malam sebelumnya kami telah belajar bersama di kamar Pembimbing Bahasa. Hasilnya kami bisa keluar dari ruang ujian lebih cepat dari yang lainnya. Sekali lagi Alhamdulillah...

Hari selasa (6/10) kami mendapat telepon mendadak dari Bendahara ISID bahwa OPSPEK di Gontor telah dilaksanakan, sejak hari kemarin! kami diminta mengahadirinya siang itu juga, sungguh hebat, baru kemarin Ujian kini kami langsung mengikuti OPSPEK dengan hasil ujian kami yang belum keluar, seakan-akan sudah pasti kami lulus ujian. Kenapa begitu cepat, karena OPSPEK yang diadakan di Gontor yang dikhususkan untuk para guru memang selalu lebih awal daripada di Siman yang dkhususkan untuk kuliah saja tanpa mengajar.

Dan mental kami kembali diuji dengan menaiki mobil pick up Pak Bo hingga ke jantung Pondok Modern Darussalam Gontor, tepatnya didepan Gedung Saudi tempat dilaksanakan OPSPEK. Beribu pasang mata santri gontor yang melihat mobil kami membuat sedikit nervous. Yah... ini memang rencana-Nya. Hari berikutnya kami tetap menggunakan Pick Up, hari Kamis akhirnya kami bisa menggunakan mobil Reformasi yang telah selesai direnovasi, walaupun ketika pulang pada malam hari lampu molbil tersebut mati sehingga kami harus berjalan pelan sekali. Dan hari terakhir kami kembali menggunakan Pick Up karena tidak mungkin berangkat ba'da Isya menggunakan mobil tanpa lampu!

Ah... rasanya berbeda sekali, kini kami sangat senang, tidak ada lagi merasa gengsi, tidak lagi malu mendorong mobil ini sejauh 50 meter mencari bensin karena keasikan mengobrol hingga lupa bahwa tangki mobil belum diisi bensin.

Hari Rabu kami diyudisium, dengan hasil yang lumayan kami lulus semua menjadi The Avant Garde atau Garda Terdepan diantara Pondok lainnya.Malah Penulis memperoleh nilai tertinggi disusul dengan rekan-rekan ar-Risalah yang mendominasi peringkat 10 besar, hanya Ma'had al-Iman yang menduduik peringkat kedua nilai tertinggi.

Hendrik Lim, MBA dalam rehat dulu lah... menerangkan seringkali kita merasa risih untuk duduk didepan suatu pertemuan, di kelas, seminar, arisan dll. Kita merasa nyaman duduk dibarisan belakang daripada didepan dengan anggapan barisan depan hanya untuk tamu khusus, peserta VIP, orang besar dan seabreg argumen defensif lainnya, dan ini semua menciptakan sebuah pikiran bahwa kita adalah The Second Class, not The First Class. Efeknya tentu akan membuat kita merasa minder untuk maju dan bersaing. Dan ini semua terjadi karena pendidikan yang tidak tepat yang kita peroleh dari orang tua kita sejak kecil.

Begitupula yang kami alami, 13 calon mahasiswa ISID Gontor yang menjalani OPSPEK. Pertama kali memasuki aula, kami duduk dibelakang. Minder melihat calon mahasiswa dari Gontor yang memiliki warna kulit lebih terang dan terawat dari kulit hitam kami yang sehari-hari terjemur terik panas matahari berkerja seharian bersama bapak Kyai. Ditambah dengan baju yang penulis kenakan yang beda dari lainnya dan langsung mengundang perhatian para peserta dan dosen pemberi materi, "Itu kenapa ada yang memakai baju hitam? Bapak pimpinan benci sekali melihat guru yang memakai baju gelap, seakan orang yang tidak mempunai semangat!" Nah lho, matilah awak! Baru pertama masuk sudah terkenal!
Selidik punya selidik, ternyata memang kemeja berwarna hitam dilarang dipakai di Gontor, bukan tradisi mereka mengenakan pakaian yang identik untuk berkabung itu. Ya..ya.. I see.

Hari Kamisnya kami tiba lebih awal daripada guru-guru dari Gontor yang baru selesai sholat Ashar. Membuat kami terpaksa duduk didepan semua, agak tidak pe-de karena kami merasa bukan tuan rumah. Tapi setelah dilalui, ternyata lebih nyaman duuk didepan, bertemu dengan The First Class, yang dari Bagian Bahasa, yang Paling pintar pun ada, ternyata sama sak, hanya orang-orang berjiwa pemimpin yang duduk didepan. Lainnya yang duduk dibelakang dipastikan hanya orang-orang biasa, nakal, dan minder. Guru-guru dari Gontor 2 juga duduk dibelakang.

Penulis menjadi ketagihan untuk terus duduk didepan, lebih adem daripada dibelakang yang panas karena AC yang rusak. Hanya ketika penutupan kami duduk dibelakang untuk menghormati Tuan Rumah yang warna bajunya berbeda dengan kami.


Di akhir acara, OPSPEK ditutup oleh Rektor III ISID, Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.Phil. Akhirnya penulis bisa melihat Redaktur Jurnal Islamia yang kondang memberantas paham liberalisasme di Indonesia ini, masih ingat tulisan beliau mengenai Dualisme yang baru penulis pahami setelah membacanya 3 kali.
  
Terakhir, kami minta doanya agar kami bisa menyelesaikan studi dengan hasil yang baik dan bisa membawa manfaat bagi umat Islam, Amiin...

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda