Sabtu, 29 Januari 2011

KEBERSAHAJAAN BAPAK PIMPINAN

Pagi itu, selepas mengajar di kelas, penulis bertemu dengan seorang alumni ar-Risalah angkatan 99, turut serta bersamanya istri, kakak laki-laki dan istrinya, beserta dua anak mereka yang lucu-lucu. Kakaknya telah 10 tahun tinggal di Dolopo.



Pagi itu juga kami berbincang-bincang, sambil keliling-keliling areal pondok yang telah banyak berubah dibanding tahun 1999. Tidak lama setelah itu, mereka pamit pulang, tidak lupa ingin bersilaturahmi dahulu kepada Bapak Pimpinan dan istrinya.

Mulanya penulis mengantarkan mereka menemui Ibu Pimpinan. Disinilah penulis merasa kesulitan. Bukan karena sulit menemukan beliau, tapi sulitnya menemukan tempat yang pas untuk bertamu, karena memang ruang tamunya kediaman pimpinan pondok tidak ada, bahkan rumah pun tidak ada!

Bapak Kyai kami, Drs. K.H. Muhammad Ma'shum Yusuf, mempunyai idealisme, tidak akan membangun rumah sebelum masjid jami pondok rampung. Walaupun faktanya area pondok modern Ar-Risalah terus meluas hingga lima belas hektar, dengan berbagai pembangunan dan kegiatan penghijauan yang terus dilakukan setiap saat dan waktu yang relatif cepat, untuk masalah masjid, sepertinya masih lama. Mengingat masjid yang dibangun seluruhnya menggunakan coran, jika memakai tembok bata, mungkin bertahun-tahun yang lalu sudah selesai. Beliau ingin mesjid ini bisa tahan lama hingga seribu tahun kedepan. Hanya itu tujuannya.

Ditengah kesederhaan keluarga beliau, dengan ruangan yang beliau tempati bersama keluarganya yang semakin sempit. Sebenarnya tahun lalu para tamu masih memungkinkan diterima diruangan yang disulap menjadi ruang tamu dibagian depan gedung itu. Tapi sekarang, seluruh bagian depan telah terpakai untuk kelas Taman Kanak-kanak yang muridnya terus membengkak setiap tahun. Kini opsi lain adalah menggunakan ruangan sebelah ruang makan guru untuk tempat menerima tamu, di bagian belakang gedung itu.

Membicarakan kesahajaan beliau beserta keluarganya tidak akan habis-habis, ditambah komentar para alumni yang selalu sama, "Oh, beliau memang dari dahulu seperti itu." Sebagaimana tamu yang penulis antar terkagum-kagum dengan beliau dan istrinya. Ketika Ibu Pimpinan menyuruh penulis membawa para tamu itu kebagian belakang gedung, depan ruang makan para santri, terlihat Ibu Kyai kami tergopoh-gopoh mengangkat dua papan triplek yang belum dipakai dengan tangannya sendiri untuk dijadikan alas menyambut para tamu. Pun, ketika para tamu beranjak pergi dan menemui Bapak Kyai yang sedang berkerja bersama para santri, terlihat beliau sedang mengangkat besi coran dibantu para santrinya. Para tamu terkesima, takjub karena belum pernah menyaksikan Kyai seperti beliau di Tasikmalaya.

Dengan kesahajaannya itu, menjadikan kami selalu mengeevaluasi diri agar tidak sombong dan selalu bersikap sederhana. Sederhana bukan berarti menjadi miskin, tapi tidak berlebihan dan apa adanya. Inilah ajaran tanpa suara dari pimpinan kami sebagai modal untuk hidup nanti di masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda