Kamis, 20 Oktober 2011

Belajar dari Jawa Pos

Baru-baru ini, nama Indonesia kembali diharumkan di kancah dunia dengan dinobatkannya harian Jawa Pos sebagai peraih gelar tertinggi Newspaper of the Year 2011, di ajang World Young Reader Prize, yang setiap tahun diselenggarakan oleh asosiasi koran dunia, WAN-IFRA. Pada 12 Oktober lalu Jawa Pos menerima penghargaan itu di Word Newspaper Congress dan World Editors Forum di Wina, Austria.


Hal ini tentu mengejutkan berbagai pihak, mengingat Jawa Pos merupakan koran regional yang hanya terbit di Jawa Timur bisa mengalahkan, tidak hanya media Nasional, tapi juga 18 ribu penerbitan dan 15 ribu situs online anggota WAN-IFRA di 120 negara di dunia.

Penghargaan ini tidak lepas dari usaha keras Jawa Pos untuk selalu menghadirkan konten terbaru hingga menjadi tagline koran ini “Selalu Ada Yang Baru!”.  Dengan total anak perusahaan 199 koran dan televisi yang kini berdiri di seluruh Indonesia, membuktikan slogan Jawa Pos “Kerja… Kerja… Kerja…!” bukanlah omong kosong belaka. Di luar itu, kepekaan Jawa Pos dalam menangkap tren yang berkembang di masyarakat membuat Jawa Pos selalu berinovasi membuat rubrik-rubrik baru seperti DetEksi, Jawa Pos For Her, Bycicle, kemudian ada program “Tret, Tret, Tret” yang mendukung Persebaya dalam persepakbolaan Indonesia pada akhir 1980-an, ada program sosial dan lingkungan seperti Surabaya Green & Clean, Jawa Pos Otonomi Awards, Program Keselamatan jalan dan lainnya. Ini semua dibuat untuk menjadikan pembacanya sebagai “part of the show”.

Ada 2 tokoh sentral yang membuat Jawa Pos menjadi besar hingga layak mendapat penghargaan tertinggi ini. Memang Jawa Pos bukanlah media murni Islam, semua hal dapat kita temukan di koran ini, dari yang sekular sampai liberal, tapi kita dapat mengambil inspirasi dari kedua tokoh ini sebagai bahan evaluasi dalam mengelola sebuah organisasi.

Pertama, Dahlan Iskan, bos Jawa Pos yang kini menjadi CEO PLN merupakah tokoh pertama yang membesarkan Jawa Pos dengan slogan “Kerja… Kerja… Kerja…!”. Hanya saja, bukan disini pembahasan sebenarnya. Sebagaimana yang diakui olehnya. Proses regenerasilah yang membuat Jawa Pos besar. Yaitu memberikan kepercayaan penuh kepada yang muda untuk berkreasi. Walaupun itu memberikan implikasi yang tua/senior tidak boleh terlalu banyak terjun langsung ke lapangan. Juga menjadikan mereka harus bersabar dalam menghadapi dan membantu kinerja orang-orang muda yang terkesan gila, nyeleneh, dan kadang menurut kacamata mereka dianggap jauh dari idealisme mereka. Hal ini dilakukan Dahlan Iskan dengan melepas kepemimpinannya secara serentak dari seluruh pengelolaan Jawa Pos Group dalam rentang waktu 2 tahun menjabat Chairman Jawa Pos. Beliau percaya hanya anak muda yang bisa membawa kemajuan.

Saat ini Jawa Pos merupakan satu-satunya koran yang diisi oleh mayoritas anak muda (kebanyakan anggota redaksinya di bawah 35 tahun plus staff DetEksi yang rata-rata berusia 20,5 tahun). Mengingatkan kita akan perkataan terkenal Bung Karno, “Berilah aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, berilah aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya terdapat kekuatan yang begitu dahsyat dari yang muda.

Dalam organisasi apapun termasuk di pondok ini, regenerasi mutlak diperlukan. Dan proses regenerasi dimulai dari pemberian kepercayaan kepada yang muda untuk bekreasi, melakukan inisiatif dengan tetap diberi bimbingan dari yang tua, tanpa harus terlalu banyak ikut campur masalah teknis di lapangan. Biarlah mereka merasakan sedikit kesalahan sebagai pelajaran bagi dirinya sendiri dalam bertindak di kemudian hari. Seorang guru senior dapat memberikan kepercayaan kepada juniornya untuk mengurus sebuah organisasi dengan memberikan arahan dan panduan, bukan teknis lapangan. Begitu pula guru junior memberikan motivasi kepada pengurus santri agar melakukan yang baik bagi kemajuan pondok, pengurus santri kemudian memberikan kepercayaan kepada pengurus rayon hal serupa. Dan akhirnya, pengurus rayon mengajarkan prinsip keperycayaan kepada junior-juniornya agar melakukan aktivitas pondok berdasar hati nurani mereka, bukan sekedar paksaan dari pengurus rayon atau peraturan pondok.

Djoko Pitono (Jurnalis senior) mengungkapkan bahwa dirinya harus jujur mengakui kesalahannya yang sok merasa senior, sok pengalaman, dan sok tahu, tapi sama sekali tidak mencium gejala dan selera zaman baru serta aspirasi berbeda anak-anak muda. “Dalam batas-batas tertentu, saya mungkin tak berbeda dari banyak jurnalis senior yang terus memeluk kebanggaan semu masa lalu.” Tulisnya di Jawa Pos (8/9).

Kita pun kadang seperti itu, karena merasa dulu pernah menjadi santri yang hebat dalam mengelola organisasi, ketika melihat yang junior menggantikan kita dan berkerja kurang efektif, maka kita menjadi tidak sabar tanpa memberikan kesempatan untuk mengevaluasi dan memotivasi mereka melakukan yang lebih baik lagi, bahkan kita cenderung mengambil alih kemudi atau menghubung-hubungkan masa lalu dengan ungkapan, “Saya ini dahulu …”, atau mungkin “Apa yang kalian kerjakan tidak ada apa-apanya dengan yang kami lakukan terdahulu…” dan berbagai ungkapan senada.

Kedua, Azrul Ananda (kini direktur Jawa Pos), dengan status “Anak Bos” tidak menjadikannya mengekor di belakang kebesaran nama bapaknya. Azrul bergerak mandiri dengan menerbitkan “DetEksi”, rubrik khusus remaja buatannya yang sempat diremehkan dan dianggap rubrik dolanan oleh seniornya. Tapi berkat kekonsistenannya, walaupun banyak komentar sinis terlontar untuknya, tidak menyurutkan niatnya untuk mundur dan setelah 11 tahun, aktifitas DetEksi berkembang menjadi Lomba Mading, DetEksi Party, lalu menggelar kompetisi basket sejak 2004 yang pada tahun 2010 penontonnya tembus 500.000 orang dari Aceh hingga Papua, meliputi 21 kota di 18 provinsi, menjadikannya liga basket pelajar terbesar di Asia Tenggara. Sebuah gedung megah, DBL Arena, pun sudah berdiri di depan Graha Pena Surabaya untuk mendukung beragam aktivitasnya.

Satu hal lagi yang menarik. Jika kita perhatikan harga koran koran di Indonesia, maka akan kita dapatkan jauh lebih murah dari Jawa Pos, dengan ketebalan yang relatif sama, rata-rata koran lain di era ini berani menurunkan harganya  menjadi Rp. 2.000,- sampai Rp. 1.000,-, dan Jawa Pos justru berani menaikkan harganya menjadi Rp. 4.500,-! Tapi itu semua toh tetap menjadikannya koran dengan pembaca terbanyak nomor 1 di Indonesia dengan jumlah di atas 1 juta pembaca perhari, padahal hanya di regional Jawa Timur saja!

Dengan DetEksi, Jawa Pos tidak hanya meregenerasi anggota redaksinya saja, tapi juga pembacanya, pembaca DetEksi yang dulu para remaja, setelah 11 tahun kemudian telah menjadi pembaca dewasa yang tetap setia kepada Jawa Pos tanpa harus kehilangan pembaca muda karena tetap tertarik dengan kehadiran DetEksi. Survei terbaru Nielsen Media Research menunjukkan bahwa 51 persen pembaca Jawa Pos berusia di bawah 30 tahun, ditambah fakta 9 dari 10 pembaca koran di Surabaya memilih Jawa Pos, suatu prestasi yang sulit dikalahkan media lain.

Beruntunglah pondok ini selalu diisi oleh kelompok muda, dari 200 guru yang ada, sekitar 60 guru tinggal di Pondok dengan prosentase 90 persen lebih  adalah guru muda yang belum menikah. Dengan selalu adanya regenerasi guru muda setiap tahunnya, bukankah seharusnya ini menjadi kekuatan hebat dalam mengawal organisasi dan sistem pendidikan di pondok ini?

Apa yang bisa kita petik dari Azrul?
Jika figur Dahlan Iskan adalah renungan bagi kita yang beranjak dewasa dan senior bagaimana menyikapi junior kita, maka sosok Azrul menjadi renungan bagi kita bagaimana bergerak, hidup memperjuangkan prinsip dengan teguh dan konsisten, menjadi ‘keras kepala’ dalam kebaikan dan tahan akan berbagai cobaan yang menghadang.

Sebagai pendidik dan organisator di pondok ini, kadang kita merasa putus asa dengan masalah yang menghadang kita, kita bergerak mundur dengan teratur dan cenderung menghindar dari masalah ketika terjadi benturan. Kita dengan mudah memberikan penilaian gagal terhadap proses yang baru setengah kita kerjakan. Dalam pengajaran, kita dengan mudah memvonis anak kita sulit untuk diajari dan mencap mereka dengan anak yang nakal dan tidak bisa diatur. Dalam organisasi, kita sering kecewa dan memilih berhenti dalam mengawal suatu sistem karena adanya pihak yang kontra, mencemooh, atau menghadang kita. Padahal kita tahu dengan jelas, bahwa apa yang kita perjuangkan akan diganjar oleh-Nya dengan surga. Semuanya tidak akan sia-sia. Hanya saja, karena memang pahala itu tidak terlihat oleh mata kita sedangkan masalah jelas-jelas di depan mata kita, maka kita cenderung menarik diri menghindari dari masalah itu, daripada menghadapinya demi pahala yang ada di baliknya.

11 tahun Azrul ngotot dengan DetEksinya. Bayangkan, bukan 1-2 bulan atau 1 tahun, tapi 11 tahun! Tahan dengan segala ucapan pedas dan kritik yang menyudutkan, dan akhirnya para senior pun mengakui kerja kerasnya setelah terlihat hasil yang jelas dan diganjar penghargaan nomor 1 di dunia.
Butuh keberanian untuk melakukan hal itu semua, tapi seperti yang dikatakan Azrul kepada agen-agen iklan baru-baru ini, “Tolong benar-benar dipahami, bahwa kami siap diomeli saat ini demi kebaikan jangka panjang. Kami siap dihujat masa sekarang demi kesuksesan masa depan.” Subhanallah… sebuah mentalitas kerja yang perlu kita miliki saat ini. (M.A.B., diambil dari Jawa Pos edisi 2010-2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda